"Siapa namanya?" tanya orang2 yang berkerumun menunggui ibuku..., begitulah mereka menanyakan jenis kelamin anak yang baru lahir di kampungku.
"Si butet" begitulah jawaban yang dilontarkan bidan yang sedang memangkuku...
Ayahku berlalu begitu saja mendengar jawaban bidan tersebut. Tergambar jelas kesedihan diwajahnya menggambarkan bahwa dia tidak mengharapkan aku terlahir perempuan.Aku terlahir disuku yang begitu mengagungkan lelaki, seolah dunia akan kiamat baginya bila tidak memiliki anak laki-laki. Empat kali sudah ayahku mengalami kekecewaan seperti ini, dengan reaksi yang sama tp dia tidak pernah berhenti untuk berharap dan menanti. Seperti tanah kering menunggu hujan, setiap kali melihat langit gelap, tanah selalu berharap hujan yang akan datang, tp aku bukanlah Hujan bagi ayahku. Ibuku tertunduk lemas, ada gurat marah diwajahnya melihat reaksi ayahku.Aku menangis, tapi tidak menangisi reaksi ayahku atau sedih memikirkan gurat marah ibuku, tp inilah pertanda kehidupan bagiku, aku harus menangis supaya mereka tahu aku ada dan hidup.
Aku dikembalikan kepangkuan ibuku setelah aku dibersihkan. Dia menciumku dengan berurai air mata, apakah dia juga menyesali kelamin yang kusandang?
"Yang ga tahu nya kau buat laki-laki" tanya perempuan yang jauh lebih tua dari ibuku, belakangan aku tahu dia Ibu dari ayahku. Setelah ayahku mempersalahkan aku lahir perempuan, sekarang perempuan itu yang kupanggil oppung mempersalahkan ibuku akan jenis kelaminku. Ada apa dengan orang orang ini, mengapa begitu dipermasalahkan, perempuan atau laki-laki, tetap aku adalah buah cinta mereka.
Aku terlahir di suku Batak yang menganut patrialisme, dimana garis keturunan dari laki-laki. Batak mempunyai silsilah yang sangat bagus yang disebut tarombo.Jadi, ketika tidak ada anak laki laki dalam 1 keluarga maka putuslah sudah garis keturunannya, dan itu dianggap sangat memalukan. Sering sekali hanya untuk mendapatkan seorang anak laki-laki, seorang istri harus rela dimadu atau diceraikan. Tidak memiliki anak laki-laki saja dianggap sangat memalukan, bagaimana yang tidak dikaruniai anak? Dan aneh nya perempuan yang selalu disalahkan, seolah2 perempuan yang menentukan jenis kelamin bayi yang dikandungnya, memiliki keturunan atau tidak.
Namun itu dulu saat aku masih bayi, dimana pendidikan belum di kecam oleh ibu, ayahku, apalagi oppungku. Perlahan pola pikir masyarakat di kampungku sudah mulai berubah, walau tidak bisa dipungkiri masih ada saja yang tetap menganut pola pikir seperti ini.
Thursday, May 20, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment